Terkadang, diabaikan menjadi sesuatu yang sangat menyakitkan.
Terkadang, diabaikan menjadi sesuatu yang sangat menguatkan.
Terkadang, pengabaian itu dibutuhkan. Ketika kita mulai melampaui batasan norma yang seharusnya memang sampai pada tempat itu.
Suatu keadaan, dimana kau merasa jatuh ke dalam lubang yang seharusnya kau tak terperosok kedalamnya.
Sebuah lubang yang setan ciptakan.
Sebuah lubang yang bersifat kebahagiaan semu.
Sebuah lubang yang salah, yang ku beri nama itu "cinta".
'Aku' telah jatuh cinta.
Jatuh cinta diam-diam.
Secara diam-diam, 'Aku' mulai mengaguminya.
Secara diam-diam, 'Aku' mulai mengharapkannya.
Secara diam-diam, 'Aku' mulai menantikannya.
Setiap hari, setiap malam.
Kini, 'Aku' mulai melakukan hal itu. Menunggu kabar yang dikirimkannya.
"Settttttttttt...." Tunggu!
Teman, tahukah kau bahwa kini 'Aku' sudah mulai lancang?
Tahukah kau, bahwa 'Aku' telah melampaui batas kewajaran?
Tahukah kau, bahwa secara diam-diam, 'Aku' telah menyakiti seorang di luar 'kami'.
"Hahahaa!" Dengarkah kau teman, kini setan mulai menertawakanku.
Menertawakan perasaanku.
Dia menertawakan 'kami'.
Dia tertawa bangga, karena 'kami' telah menjadi lakon dalam skenarionya.
Lakon yang telah berhasil menjadikan seorang di luar 'kami' memerih.
Tersayat menyakitkan.
Teman, 'Aku' tak menginginkan hal itu berlarut.
'Aku' mengabaikannya, kini. Mencoba tegar, mengabaikannya.
Begitu-pun dengan 'Kau', 'Kau' menepati janjimu.
'Kau'-pun mulai mengabaikanku.
Kini 'kami' berbarengan melakukan hal itu.
Melakukan pengabaian.
Jingga Abu-abu
Kamis, 12 Desember 2013
Kamis, 28 November 2013
Jam Pasir.
Ada
satu jawaban. Satu kenyataan yang baru ku ketahui apa makna sebenarnya dari
perasaan itu. Dini hari tadi, ada seorang yang mendelikku. Dia mencekik leherku dengan pertanyaan yang mematikan.
Jika Windy Ariestanty mengatakan, "Berhati-hatilah dengan pertanyaan. Jawaban yang didapat tak selamanya menyenangkanmu."
Dan aku mengatakan "Berhati-hatilah dengan pertanyaan. Jawaban yang diberikan tak selamanya menenangkanmu."
Satu kenyataan pabila perasaan ini mengatakan ‘iya’. Sebuah
jawaban yang baru ku ketahui saat aku merasa takut kehilanganmu, 'teman’.
~ "Diapedesis itu sama kaya jam pasir. Pelan-pelan
keluar, lama-lama bakalan numpuk di bawah. Keluar semua, ninggalin tempatnya
yang lama. Sama kaya kamu, Mes.” ~
Minggu, 18 Agustus 2013
"Lagi...."
Hay, apa kabar?
Bagaimana kehidupanmu selama ini?
Aku penasaran. Bahkan sangat penasaran dengan perkembanganmu.
Aku rasa waktu sangatlah cepat. Emh, bukan jarum jam yang aku maksudkan berputar terlalu cepat selama ini, bukan.
Semuanya terlalu cepat berakhir. Iya, berakhir.
Sebuah random mempertemukan kita.
Dekat....
Akrab....
Berbagi....
Menjauh....
Menghilang....
Dan.... Kembali "lagi".
Tapi keadaan sudah berubah.
Kamu tahu, setiap detik itu penuh dengan berbagai peristwa, penuh dengan berbagai kisah? Begitupun dengan kita.
Hehhhhhhhh.... *sigh*
Aku lelah. Nuraniku mengatakan "Aku tak sanggup lagi menampung kebohonganmu. All your reason, is a lying".
Kenapa aku bilang begitu? Karena aku memperhatikanmu, memastikan akan hal itu. And I got it.
Bagaimana kehidupanmu selama ini?
Aku penasaran. Bahkan sangat penasaran dengan perkembanganmu.
Aku rasa waktu sangatlah cepat. Emh, bukan jarum jam yang aku maksudkan berputar terlalu cepat selama ini, bukan.
Semuanya terlalu cepat berakhir. Iya, berakhir.
Sebuah random mempertemukan kita.
Dekat....
Akrab....
Berbagi....
Menjauh....
Menghilang....
Dan.... Kembali "lagi".
Tapi keadaan sudah berubah.
Kamu tahu, setiap detik itu penuh dengan berbagai peristwa, penuh dengan berbagai kisah? Begitupun dengan kita.
Hehhhhhhhh.... *sigh*
Aku lelah. Nuraniku mengatakan "Aku tak sanggup lagi menampung kebohonganmu. All your reason, is a lying".
Kenapa aku bilang begitu? Karena aku memperhatikanmu, memastikan akan hal itu. And I got it.
Sabtu, 22 Juni 2013
Late Woke Up.
Aku. Kali ini mataku bengkak. Sebagian ruas pipiku
basah. Banyak tisu berbaring di atas tempat tidur. Ada yang mengganggu
pikiranku. Ada yang meruntuhkan perasaanku. Hatiku rontok. Brekkk!
Aku baru saja menonton sebuah film Korea yang berjudul
Daisy. Dadaku merasa sesak
menyaksikan film itu. Pipiku terpenuhi dengan peluh air mata. Kedua lubang hidung
ini tak lagi selonggar cerobong asap yang bisa menerima udara dari luar. Tenggorokanku
terasa kering, sangat kering karena tak ditemukan oasis di tengah gurun pasir.
Film itu mengajarkan tentang penantian, kepekaan,
ketulusan, cinta, dan kegigigan. Sebuah penantian lama yang berujung pada
kematian. Kematian yang abadi. Sebuah cinta yang lama tak terungkap. Sebuah cinta
yang hanya bisa diungkapkan dengan cara mengagumi, menjaga dan berusaha untuk
selalu membahagiakannya.
Sebuah cinta yang seketika lenyap begitu singgah
seorang asing yang menampakkan wujud nyatamu selama ini. Menyamar, dia
menyamarkan kepribadianmu. Dia berhasil merenggut penantiannya darimu. Dirinya yang
selama ini selalu kau usahakan untuknya tersenyum, terjaga dan tetap menanti
kehadiranmu. Kini, dia bersama orang lain. Orang yang menyamarkan kepribadianmu
secara kebetulan.
Kebetulan yang berujung pada kesengajaan, kebohongan. Namun
takdir menjawab. Takdir berbicara. Semua terungkap, kebenaran itu telah muncul.
Dan kamu, iya kamu! Kamu baru saja tersadar, terbangun dari tidur nyenyakmu. Kini
matamu membelalak begitu mengetahui kenyataan itu. Kenyataan bahwa dia, ddialah
yang sebenarnya mencintaimu.
Dialah kenyataan itu. Dia yang ternyata selama ini datang,
bersamamu, mendampingimu, berusaha untuk selalu ada. Dia hadir dalam hidupmu. Dia
hadir dengan begitu nyata dihadapanmu. Namun kamu tidak mengetahuinya. Kamu masih
terbelenggu dalam fatamorgana masa lalu yang menyamarkan kepribadiaannya.
Hey, sadar! Orang yang benar-benar menyayangimu itu
ada di sampingmu, dihadapanmu. Dia ada untukmu. Dia yang selalu berusaha untuk
menarik bibirmu, menungging ke atas. Tersenyum, terdampingi dan terperhatikan. Terperhatikan
tanpa engkau menyadarinya. Dia di belakangmu, menamengimu demi sebersit
jinjitan senyum licikmu itu, lepas.
Kamis, 06 Juni 2013
SIGH
Aku enggak tahu. Aku enggak paham. Tentang ini.
Perasaan ini. Kenapa, mengapa, aku harus merasakannya. Selalu memikirkan kamu. Selalu
mengkhawatirkan kamu. Selalu merasa bahwa “Kita” akan selalu baik-baik saja. Aku
berontak. Aku melarikan diri dari itu semua. Aku berusaha untuk membuat
semuanya terasa biasa saja. Biasa saja, seperti halnya aku dengan yang lain. Dan
sialnya, aku enggak bisa. Berat. Berat buat aku untuk begitu saja menghilangkan
ingatanku tentang kamu di otak aku. Aku heran. Hehhhhh. Mungkin Tuhan memang
sudah mensetting semua itu. Tuhan telah memberikan bagian khusus di otak aku
untuk ditempati olehmu. Aku berusaha untuk bersikap selayaknya normal lainnya. Aku
tidak mau terburu untuk menyimpulkannya. Aku hanya tidak mau jika kesimpulanku
mengklimakskan hal yang tidak seharusnya. Jawaban yang akan mematikan orang di
sekitarku. Baik. Hubungan yang baik. Dulu, itu dulu. Sekarang, perlahan
menjauh, berjarak. When you’re needing
your space. I’ll be here patiently waiting. Aku menunggu kamu. Menunggu kamu
yang kembali padanya. Menunggu kamu yang berbahagia dengannya. Menunggu kamu untuk waktu yang tidak aku ketahui sampai
kapan. Menunggu kamu, hingga kamu tersadar tanpa mendapat kode dari siapapun. Sendiri.
Kesadaran itu. Aku akan menunggunya. Aku senang jika kamu bahagia dengan dia. Aku
berbahagia kamu tidak lagi menangis dan megadukannya padaku. Keluhan, air mata,
isak tangis itu tak lagi ada. Semua berubah, menjelma menjadi suatu
kebahagiaan. Untukmu. Untukku juga. Bahagia untukku karena aku pernah
mengenalmu. Bukan. Bukan pernah, karena kita tidak akan berlalu. Aku senang
telah mengenal kamu. Selamat berbahagia dengannya. Jangan sampai kamu
mendatangiku. Kembali hadir dengan membawa sebuah keperihan. Aku tidak
menginginkan hal itu terjadi. Berbahagialahk dengannya. Berbahagialah. Aku menginginkan
kamu hilang ingatan. Hilang ingatan tentang kita. Aku ingin kamu tidak mengenal
kesamaran, kegelapan, kepedihan yang pernah kamu letupkan dari bibirmu itu. Dari jemarimu yang
menari dengan lenggangnya. Berbahagialah. Karena akupun akan begitu. Tetaplah menatap
ke depan. Aku, disini. Di belakangmu.
Jumat, 17 Mei 2013
Pemahaman, bukan keberpihakkan.
Hy, kali ini aku akan bercerita
tentang sebuah perasaan. Perasaan yang selalu menghantuiku hampir setiap saat. Perasaan
ini aku rasakan sebagai momok. Aku takut kawan, aku takut.
Aku heran kenapa perasaan ini
selalu datang menghampiriku? Anda tahu jawabannya kawan? Tolong beritahukan
padaku. Beritahukan padaku arti dari ini. Belalakanlah mataku yang enggan untuk
terbuka. Selalu ingin membuta. Sebuah perasaan yang datang setiap kali dia datang.
Rasa takut dan khawatir. Dia datang dan pergi sesuka hatinya. Dia selalu
melakukan itu padaku, sering. Aku tidak tahu kenapa aku selalu bersedia ada
untuk dia. Aku tidak tahu apakah aku hanya dijadikannya sebagai tempat berteduh,
sementara. Aku tidak tahu apa yang ada dalam fikirannya. Tapi kawan, aku tahu
sebuah hal. Aku tahu jika ada dia yang sangat bersedia mati untuknya. Aku tahu
pengorbanan dan penantiannya. Aku tahu perasaannya itu. Aku tahu. Dia amat
sangat menyayanginya. Lebih dari aku. Lebih dari yang aku miliki. Yaa, perasaan
tidak egois kan kawan? Perasaan memiliki telepati. Perasaan bisa memilah. Dan otak?
Otak harus digunakan secara jernih untuk bisa menafsirkan perasaan kita. Jadi….
Hey, ini bukan mengalah ataupun melepaskan. Ini hanya sebuah penghormatan
kepada sebuah parasaan dan penantian. Bukan dalam arti kita meninggalkannya kan
kawan, bukan kan? Emh, jadi sikap seperti apakah yang harus kita ambil? Ya kita
harus bersikap sama. Sama seperti kala kita belum mengetahui tentang perasaan
dan penantian itu. Buatlah semua biasa
saja. Buatlah semua menjadi tidak berubah, away. Not away. One step closer. Tetaplah
dan berusahalah untuk selalu ada untuknya. Untuknya meskipun…. Berusahalah untuk
menjadi jantung bagi dia. Dia yang kita sayangi. Jantung yang selalu berdetak,
yang selalu memberikan kehidupan meakipun tak terlihat. Tidak kasat mata. Bukan
keberpihakkan yang diinginkan. Hanya pengertian dan pemahaman, itu sudahlah
cukup. Pemahaman itu lebih berharga dari keberpihakkan.
Sabtu, 11 Mei 2013
Jullie Hermes Merkurius
Seandainya. Ketika. Nyata
Seandainya Holland Greece
Ketika Holland Greece
Nyata Holland Greece
Seandainya.. Ketika itu menjadi Nyata, Holland
Greece
Hehhh.. Aku hanya bisa menghembus nafas
Hembus nafas kedengkian
Hembus nafas kebencian
Berasap..
Meradang..
Tuhan, inikah kehendak-Mu….?
Menelusuri labirin ini
Labirin yang tak berujung
Aku berputar tak tentu dalam ketidakpastian
Hanya memutari lorong yang sama untuk beribu
kali
Kosong. Terlambat
Aku tertinggal..
Terlambat memapas kebetulan..
Jullie Hermes Merkurius
Meradang..
Langganan:
Postingan (Atom)