Sabtu, 22 Juni 2013

Late Woke Up.

Aku. Kali ini mataku bengkak. Sebagian ruas pipiku basah. Banyak tisu berbaring di atas tempat tidur. Ada yang mengganggu pikiranku. Ada yang meruntuhkan perasaanku. Hatiku rontok. Brekkk!
Aku baru saja menonton sebuah film Korea yang berjudul Daisy. Dadaku merasa sesak menyaksikan film itu. Pipiku terpenuhi dengan peluh air mata. Kedua lubang hidung ini tak lagi selonggar cerobong asap yang bisa menerima udara dari luar. Tenggorokanku terasa kering, sangat kering karena tak ditemukan oasis di tengah gurun pasir.
Film itu mengajarkan tentang penantian, kepekaan, ketulusan, cinta, dan kegigigan. Sebuah penantian lama yang berujung pada kematian. Kematian yang abadi. Sebuah cinta yang lama tak terungkap. Sebuah cinta yang hanya bisa diungkapkan dengan cara mengagumi, menjaga dan berusaha untuk selalu membahagiakannya.
Sebuah cinta yang seketika lenyap begitu singgah seorang asing yang menampakkan wujud nyatamu selama ini. Menyamar, dia menyamarkan kepribadianmu. Dia berhasil merenggut penantiannya darimu. Dirinya yang selama ini selalu kau usahakan untuknya tersenyum, terjaga dan tetap menanti kehadiranmu. Kini, dia bersama orang lain. Orang yang menyamarkan kepribadianmu secara kebetulan.
Kebetulan yang berujung pada kesengajaan, kebohongan. Namun takdir menjawab. Takdir berbicara. Semua terungkap, kebenaran itu telah muncul. Dan kamu, iya kamu! Kamu baru saja tersadar, terbangun dari tidur nyenyakmu. Kini matamu membelalak begitu mengetahui kenyataan itu. Kenyataan bahwa dia, ddialah yang sebenarnya mencintaimu.
Dialah kenyataan itu. Dia yang ternyata selama ini datang, bersamamu, mendampingimu, berusaha untuk selalu ada. Dia hadir dalam hidupmu. Dia hadir dengan begitu nyata dihadapanmu. Namun kamu tidak mengetahuinya. Kamu masih terbelenggu dalam fatamorgana masa lalu yang menyamarkan kepribadiaannya.

Hey, sadar! Orang yang benar-benar menyayangimu itu ada di sampingmu, dihadapanmu. Dia ada untukmu. Dia yang selalu berusaha untuk menarik bibirmu, menungging ke atas. Tersenyum, terdampingi dan terperhatikan. Terperhatikan tanpa engkau menyadarinya. Dia di belakangmu, menamengimu demi sebersit jinjitan senyum licikmu itu, lepas.

Kamis, 06 Juni 2013

SIGH

Aku enggak tahu. Aku enggak paham. Tentang ini. Perasaan ini. Kenapa, mengapa, aku harus merasakannya. Selalu memikirkan kamu. Selalu mengkhawatirkan kamu. Selalu merasa bahwa “Kita” akan selalu baik-baik saja. Aku berontak. Aku melarikan diri dari itu semua. Aku berusaha untuk membuat semuanya terasa biasa saja. Biasa saja, seperti halnya aku dengan yang lain. Dan sialnya, aku enggak bisa. Berat. Berat buat aku untuk begitu saja menghilangkan ingatanku tentang kamu di otak aku. Aku heran. Hehhhhh. Mungkin Tuhan memang sudah mensetting semua itu. Tuhan telah memberikan bagian khusus di otak aku untuk ditempati olehmu. Aku berusaha untuk bersikap selayaknya normal lainnya. Aku tidak mau terburu untuk menyimpulkannya. Aku hanya tidak mau jika kesimpulanku mengklimakskan hal yang tidak seharusnya. Jawaban yang akan mematikan orang di sekitarku. Baik. Hubungan yang baik. Dulu, itu dulu. Sekarang, perlahan menjauh, berjarak.  When you’re needing your space. I’ll be here patiently waiting. Aku menunggu kamu. Menunggu kamu yang kembali padanya. Menunggu kamu yang berbahagia dengannya. Menunggu kamu  untuk waktu yang tidak aku ketahui sampai kapan. Menunggu kamu, hingga kamu tersadar tanpa mendapat kode dari siapapun. Sendiri. Kesadaran itu. Aku akan menunggunya. Aku senang jika kamu bahagia dengan dia. Aku berbahagia kamu tidak lagi menangis dan megadukannya padaku. Keluhan, air mata, isak tangis itu tak lagi ada. Semua berubah, menjelma menjadi suatu kebahagiaan. Untukmu. Untukku juga. Bahagia untukku karena aku pernah mengenalmu. Bukan. Bukan pernah, karena kita tidak akan berlalu. Aku senang telah mengenal kamu. Selamat berbahagia dengannya. Jangan sampai kamu mendatangiku. Kembali hadir dengan membawa sebuah keperihan. Aku tidak menginginkan hal itu terjadi. Berbahagialahk dengannya. Berbahagialah. Aku menginginkan kamu hilang ingatan. Hilang ingatan tentang kita. Aku ingin kamu tidak mengenal kesamaran, kegelapan, kepedihan yang pernah kamu  letupkan dari bibirmu itu. Dari jemarimu yang menari dengan lenggangnya. Berbahagialah. Karena akupun akan begitu. Tetaplah menatap ke depan. Aku, disini. Di belakangmu.