Aku. Kali ini mataku bengkak. Sebagian ruas pipiku
basah. Banyak tisu berbaring di atas tempat tidur. Ada yang mengganggu
pikiranku. Ada yang meruntuhkan perasaanku. Hatiku rontok. Brekkk!
Aku baru saja menonton sebuah film Korea yang berjudul
Daisy. Dadaku merasa sesak
menyaksikan film itu. Pipiku terpenuhi dengan peluh air mata. Kedua lubang hidung
ini tak lagi selonggar cerobong asap yang bisa menerima udara dari luar. Tenggorokanku
terasa kering, sangat kering karena tak ditemukan oasis di tengah gurun pasir.
Film itu mengajarkan tentang penantian, kepekaan,
ketulusan, cinta, dan kegigigan. Sebuah penantian lama yang berujung pada
kematian. Kematian yang abadi. Sebuah cinta yang lama tak terungkap. Sebuah cinta
yang hanya bisa diungkapkan dengan cara mengagumi, menjaga dan berusaha untuk
selalu membahagiakannya.
Sebuah cinta yang seketika lenyap begitu singgah
seorang asing yang menampakkan wujud nyatamu selama ini. Menyamar, dia
menyamarkan kepribadianmu. Dia berhasil merenggut penantiannya darimu. Dirinya yang
selama ini selalu kau usahakan untuknya tersenyum, terjaga dan tetap menanti
kehadiranmu. Kini, dia bersama orang lain. Orang yang menyamarkan kepribadianmu
secara kebetulan.
Kebetulan yang berujung pada kesengajaan, kebohongan. Namun
takdir menjawab. Takdir berbicara. Semua terungkap, kebenaran itu telah muncul.
Dan kamu, iya kamu! Kamu baru saja tersadar, terbangun dari tidur nyenyakmu. Kini
matamu membelalak begitu mengetahui kenyataan itu. Kenyataan bahwa dia, ddialah
yang sebenarnya mencintaimu.
Dialah kenyataan itu. Dia yang ternyata selama ini datang,
bersamamu, mendampingimu, berusaha untuk selalu ada. Dia hadir dalam hidupmu. Dia
hadir dengan begitu nyata dihadapanmu. Namun kamu tidak mengetahuinya. Kamu masih
terbelenggu dalam fatamorgana masa lalu yang menyamarkan kepribadiaannya.
Hey, sadar! Orang yang benar-benar menyayangimu itu
ada di sampingmu, dihadapanmu. Dia ada untukmu. Dia yang selalu berusaha untuk
menarik bibirmu, menungging ke atas. Tersenyum, terdampingi dan terperhatikan. Terperhatikan
tanpa engkau menyadarinya. Dia di belakangmu, menamengimu demi sebersit
jinjitan senyum licikmu itu, lepas.